Sabtu, 17 Januari 2009

Bergoyang dalam bayang - bayang RUU

Bergerak berputar sambil meliuk-liukkan pinggul. Sesekali perempuan semampai itu membelakangi penonton, dengan pinggul tetap meliuk-liuk. Di depan panggung berukuran mini yang diapit warung pada kiri-kanannya, seorang lelaki tampak ikut bergoyang.
Tabuhan gamelan dan perkusi yang terdengar sember dari perangkat pengeras suara sama sekali tidak mengganggu asyiknya goyang jaipongan di kolong Jembatan Jatinegara, Jakarta Timur, malam itu. Pesinden dan bajidor—sebutan untuk lelaki yang ikut berjoget di hadapan pesinden—serta belasan penonton di sisi Jalan Pisangan Lama Selatan juga tidak terusik deru kereta api yang melintas di belakang panggung.
Pemandangan itu bisa dinikmati setiap malam—kecuali malam Jumat—sejak pukul 21.00 hingga pukul 3.00 dini hari. Makin larut malam, makin asyik dan makin ramai pengunjung.
Komunitas kolong jalan layang itu sama sekali tidak tahu kesibukan para wakil rakyat yang sedang sibuk dengan Rancangan Undang-Undang (RUU) Antipornografi dan Pornoaksi. Padahal, goyangan meliuk-liuk tadi bisa saja ditafsirkan sebagai gerakan erotis di depan umum.
Sebutlah, misalnya, Pasal 6 dan Pasal 28 RUU itu yang mengatur mengenai eksploitasi daya tarik tubuh atau bagian tubuh orang yang menari erotis atau bergoyang erotis. Memang masih bisa diperdebatkan apakah goyangan meliuk-liuk itu termasuk tarian atau goyangan erotis sebab batasan tentang tari atau goyang erotis dalam RUU tersebut masih samar, seremang-remang malam di kolong Jembatan Jatinegara.
Mami Atun, pengelola Sanggar Mekar Munggaran, bahkan tidak pernah mendengar tentang adanya RUU Antipornografi dan Pornoaksi. Ketika ditanya soal itu, ia malah balik bertanya, ”Ada ya?”
Meski demikian, tampaknya Atun paham betul bahwa perundang-undangan itu tidak akan menutup kegiatan usahanya, melainkan hanya memerlukan izin. ”Kami punya izin dari Dinas Kebudayaan, RW, RT, dan polisi. Kami juga punya izin dari warga sekitar. Kalau warga keberatan, mana mungkin kami masih bertahan di sini,” tuturnya.
Di Kabupaten Blora, Rembang, Pati, Kudus, Jepara dan Grobogan (Jawa Tengah), sebagian besar pekerja seni tayub juga tidak tahu adanya RUU Antipornografi dan Pornoaksi.
Ini bisa dimaklumi karena banyak di antara mereka hanya berpendidikan sekolah dasar (SD). Jika toh tahu, hanya selintas dari tayangan televisi atau surat kabar.
”Terus terang saya tidak tahu sama sekali” ujar Tinah. Hal senada dikemukakan Iin Parlina (25), penari jaipong di sanggar Mekar Munggaran, Jakarta Timur.
Iin yang hanya tamat SD itu mendapat bayaran sekitar Rp 400.000 per bulan. Setelah dipotong untuk kebutuhan sehari- hari, termasuk kosmetik segala, sisanya ia kirim untuk anaknya yang masih berusia enam tahun di Cikarang, Bekasi.
Tinah adalah pekerja seni tayub atau teledek papan atas di wilayah pantai utara (pantura) timur, dengan bayaran minimal Rp 1 juta dan maksimal Rp 2,5 juta sekali manggung. Ia sudah manggung sejak usia 16 tahun dan sudah menikah dengan Kabul, seorang pegawai negeri sipil lulusan salah satu perguruan tinggi di Jateng pada Agustus 1999.
Perempuan berkulit kuning ini terperanjat ketika diberi tahu bahwa pakaian kemben bisa terancam oleh RUU itu. Padahal, kemben adalah salah salah satu ciri khas berbusana adat Jawa, khususnya ketika naik panggung dalam seni tayub.
Kemben adalah penutup payudara yang terbuat dari kain dan selalu berkaitan dengan jarik/sinjang. Sementara kesenian tayub diartikan ditata supaya guyub (tertata agar menyatu).
Menurut Tinah yang didampingi suaminya, jauh sebelum pornografi dan pornoaksi ”meledak” dalam beberapa tahun terakhir, Bupati Pati Sunardji pada sekitar awal tahun 1992 malah pernah memerintahkan agar pekerja seni tayub yang umumnya terdiri kaum perempuan ini memakai penutup kemben.
”Bukan semata-mata untuk menutupi buah dada, tapi lebih dititikberatkan untuk menjaga kesehatan karena biasanya tayub berlangsung malam hari.
Meski bukan merupakan surat keputusan, perintah itu akhirnya dituruti dan setiap kali pentas pekerja seni tayub memakai penutup kemben warna-warni (kecenderungan mencolok).
Akan tetapi, itu hanya diikuti di Kabupaten Pati dan sekitarnya. Untuk Kabupaten Blora hingga memasuki wilayah Jawa Timur, pekerja seni tayub tetap mengenakan kemben saat pentas.
”Saya dan umumnya teman- teman satu profesi juga sangat setuju dan lebih senang dengan memakai kemben karena memang di situlah salah satu ciri tayub. Jika pemerintah melarang seniman tayub untuk tidak memakai kemben karena dianggap porno, saya kira berlebihan,” kata Tinah menambahkan.
Pendapat Tinah tersebut dibenarkan Kabul (yang selama ini menjadi manajer sang istri sekaligus turut aktif berkiprah di kesenian tayub itu sendiri) karena tayub sudah berbeda dengan kesenian serupa pada masa penjajahan Belanda, Jepang, hingga menjelang tumbangnya pemerintahan Orde Baru.
Sebab, tidak ada lagi seorang pambekso (hadirin/tamu yang ikut berjoget/bernyanyi dengan seniwati tayub) memberikan tip berupa uang yang dimasukkan ke kemben. Tidak ada lagi pambekso dengan seenaknya mencubit pantat atau mencium pipi sang seniwati.
Keberadaan pambekso tidak boleh lebih dari satu meter dari seniwati. Pambekso maupun penonton bisa saja memberikan tip yang dimasukkan ke amplop dan disodorkan ke tangan seniwati. ”Jika ada yang berani kurang ajar terhadap seniwati, justru penonton lain yang bertindak tegas. Jika perlu dipukul, paling tidak diingatkan, lalu ditarik ke luar arena,” ujar Kabul.
Stigma porno
Bagaimana dengan nasib tari dongbret di Indramayu, Jawa Barat? ”Sekarang dongbret sudah tidak ditarikan di sini. Tradisi tari itu terakhir kali saya lihat sekitar tahun 1970-an. Sekarang sudah disingkirkan ke daerah Balanakan, Kabupaten Subang,” kata Wangi Indria, seniman sekaligus pemerhati seni Indramayu.
Perasaan sedih terlihat dari gaya bicara Wangi ketika membicarakan tari dongbret, tari yang dikenal masyarakat masa kini dengan istilah goyang dongbret. Sebab, atas penolakan beberapa pihak di Indramayu, sekitar tahun 1970, tari dongbret sudah dilarang di Indramayu karena dianggap porno.
Dongbret dalam bahasa keseharian berarti ”uang blendong bisa jembret” (uang segenggam bisa melacur). Stigma yang diberikan pada tari ini tertanam pula pada mantan penarinya yang saat ini berusia sekitar 50 tahunan.
Padahal, pada masa jayanya dulu, kesenian dongbret merupakan kesenian rakyat yang paling murah dan selalu diselenggarakan tujuh hari tujuh malam menjelang dan ketika upacara syukuran desa.
Menurut pemerhati kesenian sekaligus seniman Indramayu, Mamat Taham, stigma porno yang diberikan kepada dongbret sebenarnya tidak beralasan.
”Mungkin yang dipersoalkan beberapa anggota masyarakat adalah saat seorang perempuan dan laki-laki saling berpegangan tangan hingga akhirnya si lelaki mencium pipi si penari perempuan dengan imbalan uang, lalu dianggap bertentangan dengan nilai moral sebagian besar masyarakat. Padahal, tahap yang dikhawatirkan itu hanya berhenti pada cium pipi dan tak menjurus pada bagian yang lain,” kata Mamat.
Menurut Wangi, tersingkirnya tarian dongbret dari Indramayu merupakan salah satu pelajaran, betapa banyak tanggapan dan persepsi orang mengenai suatu bentuk kesenian. Banyak orang yang beranggapan kalau semua yang dilakukan di tari dongbret adalah perbuatan erotis dan porno. Padahal, secara filosofis, si penari maupun tariannya jauh dari nuansa porno. (D01/Suprapto)

by:Nasru Alam Aziz

Tidak ada komentar: