Sabtu, 17 Januari 2009

Kontroversi di balik pengesahan RUU BHP


Beberapa hari terakhir ini, kampus kembali menggeliat. Para insan kampus yang tergabung dalam berbagai komunitas mahasiswa berbondong-bondong keluar kampus mengeluarkan aspirasinya. Mereka tegas-tegas menolak pengesahan RUU BHP (Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan) menjadi UU BHP. Mereka menilai, UU BHP memberikan peluang kepada pemerintah untuk meninggalkan tanggung jawabnya yang diamanatkan konstitusi untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Sebab dalam UU itu diatur peserta didik diwajibkan membayar 1/3 dari biaya operasional yang seharusnya ditanggung oleh suatu institusi pendidikan. Mereka khawatir, universitas favorit yang berberbiaya operasional tinggi akan menjadi dominasi anak orang kaya.
Penolakan agaknya tak hanya datang dari insan kampus. Majelis Luhur Taman Siswa (MLTS), misalnya, menolak pengesahan RUU BHP ini karena di dalamnya sama sekali tidak menjadikan Pancasila dan UUD 1945 sebagai ideologi dan dasar. Selain itu penetrasi asing secara sistematis nampak dalam RUU BHP tersebut. Buktinya, dengan diratifikasinya WTO/GATS melalui UU No 7 Tahun 1994 yaitu memasukkan layanan pendidikan sebagai komoditas perdagangan yang bebas sesuai dengan hukum pasar bebas. Selain itu asing pun nantinya bisa menanamkan modalnya hingga 49%. “Tapi kalau kemudian menjadi lebih dari 50% bagaimana?” kata Wuryadi sebagaimana dikutip okezone.
Wuryadi menambahkan dasar lain penolakan pengesahan RUU BHP tersebut yakni adanya potensi yang cenderung mengabaikan kebhinekaan serta menafikan bentuk pendidikan dengan Tri Pusat Pendidikan Taman Siswa. Hal ini dinilai Taman Siswa telah mengkhianati ajaran Ki Hajar Dewantoro, di mana pendidikan adalah untuk semua, adil, merata dan antidiskriminasi. Ironisnya lagi, tegas Wuryadi, RUU BHP ini ternyata juga dinilai mengabaikan hak sejarah yayasan, sehingga nantinya akan banyak sekolah atau pondok-pondok pesantren yang terancam tidak diakui. Padahal, keberadaan yayasan ini sudah lama ada dan ikut membantu pengembangan pendidikan di Indonesia.
Ya, ya, ya, kontroversi di balik pengesahan RUU BHP, jelas makin menambah daftar panjang sejumah persoalan pendidikan yang silang-sengkarut. Tak hanya persoalan infrastruktur, seperti banyaknya sarana/prasarana atau fasilitas pendidikan yang terabaikan, ranah suprastruktur-nya pun dinilai masih sarat dengan berbagai kepentingan.
Dalam penafsiran awam saya, draft RUU BHP agaknya memang mempersempit gerak anak-anak dari kalangan tak mampu untuk mengenyam bangku pendidikan. Dalam pasal 34, misalnya, pemerintah dan pemerintah daerah menanggung sekurang-kurangnya dua per tiga biaya pendidikan untuk BHPP dan BHPPD yang menyelenggarakan pendidikan menengah untuk biaya operasional, biaya investasi, beasiswa, dan bantuan biaya pendidikan bagi peserta didik pada BHPP berdasarkan standar pelayanan minimal untuk mencapai standar nasional pendidikan (ayat 3). Sedangkan, peserta didik dapat ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan sesuai dengan kemampuannya, orang tua, atau pihak yang bertanggung jawab membiayai (ayat 4). Biaya penyelenggaraan pendidikan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (4) yang ditanggung oleh seluruh peserta didik dalam pendanaan pendidikan menengah atau pendidikan tinggi pada BHPP atau BHPPD sebanyak-banyaknya satu per tiga dari seluruh biaya operasional.
Dalam konteks demikian, kehadiran UU BHP, bisa dibilang tidak sejalan dan sebangun dengan salah satu rencana strategis (Renstra) Depdiknas yang bersemangat untuk memperluas akses masyarakat terhadap pendidikan. Jika peserta didik harus menanggung 1/3 dari seluruh biaya operasional, bagaimana halnya dengan nasib anak-anak cerdas dari kalangan tak mampu? Bagaimana masa depan negeri ini kalau dunia pendidikan hanya boleh dinikmati oleh anak-anak dari kaum kaya saja? Alih-alih ikut menanggung biaya operasional, sekadar untuk bisa bertahan hidup di tengah ancaman badai krisis pun, mereka tampak sempoyongan.
Ketika dunia pendidikan sudah dicemari oleh kepentingan-kepentingan komersil, maka yang terjadi kemudian adalah proses pengebirian talenta dan potensi peserta didik. Bagaimana mungkin tidak terkebiri kalau anak-anak dari kalangan keluarga tak mampu yang sebenarnya memiliki otak cemerlang, akhirnya harus tersingkir dari bangku pendidikan yang diincarnya? Bagaimana negeri ini bisa maju kalau generasi-generasi brilian justru harus mengalami proses “cuci otak” lantaran gagal duduk di bangku pendidikan?
Dampak paling berbahaya yang ditimbulkan oleh praktik komersialisasi pendidikan adalah tumbuh suburnya budaya korupsi, kolusi, dan manipulasi (KKN). Ibarat dalam dunia bisnis, setiap rupiah yang dikeluarkan harus menghasilkan keuntungan. Sejumlah uang yang dikeluarkan oleh orang tua diharapkan akan mendatangkan kemudahan dalam mencari pekerjaan atau kedudukan. Imbasnya, ketika menjadi pejabat atau pengambil kebijakan, kelak mereka akan selalu menghubung-hubungkan antara uang yang telah dikeluarkan untuk menimba ilmu dan jaminan kesejahteraan yang akan diterimanya. Jika gaji dirasakan belum cukup untuk mengembalikan uang pelicin untuk mendapatkan bangku pendidikan, mereka tak segan-segan untuk mengambil keuntungan dengan berbagai macam cara.
Pernyataan bahwa pembentukan Undang-Undang BHP merupakan amanah dari Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 tahun 2003 pasal 53 ayat (1) bahwa “penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum” memang sangat beralasan. Meski demikian, klausul ini jangan sampai menimbulkan penafsiran bias hingga akhirnya menyingkirkan anak-anak dari kalangan tak mampu untuk bisa ikut menikmati bangku pendidikan. Nah, bagaimana? **
Klik http://www.simbio.com/

Bergoyang dalam bayang - bayang RUU

Bergerak berputar sambil meliuk-liukkan pinggul. Sesekali perempuan semampai itu membelakangi penonton, dengan pinggul tetap meliuk-liuk. Di depan panggung berukuran mini yang diapit warung pada kiri-kanannya, seorang lelaki tampak ikut bergoyang.
Tabuhan gamelan dan perkusi yang terdengar sember dari perangkat pengeras suara sama sekali tidak mengganggu asyiknya goyang jaipongan di kolong Jembatan Jatinegara, Jakarta Timur, malam itu. Pesinden dan bajidor—sebutan untuk lelaki yang ikut berjoget di hadapan pesinden—serta belasan penonton di sisi Jalan Pisangan Lama Selatan juga tidak terusik deru kereta api yang melintas di belakang panggung.
Pemandangan itu bisa dinikmati setiap malam—kecuali malam Jumat—sejak pukul 21.00 hingga pukul 3.00 dini hari. Makin larut malam, makin asyik dan makin ramai pengunjung.
Komunitas kolong jalan layang itu sama sekali tidak tahu kesibukan para wakil rakyat yang sedang sibuk dengan Rancangan Undang-Undang (RUU) Antipornografi dan Pornoaksi. Padahal, goyangan meliuk-liuk tadi bisa saja ditafsirkan sebagai gerakan erotis di depan umum.
Sebutlah, misalnya, Pasal 6 dan Pasal 28 RUU itu yang mengatur mengenai eksploitasi daya tarik tubuh atau bagian tubuh orang yang menari erotis atau bergoyang erotis. Memang masih bisa diperdebatkan apakah goyangan meliuk-liuk itu termasuk tarian atau goyangan erotis sebab batasan tentang tari atau goyang erotis dalam RUU tersebut masih samar, seremang-remang malam di kolong Jembatan Jatinegara.
Mami Atun, pengelola Sanggar Mekar Munggaran, bahkan tidak pernah mendengar tentang adanya RUU Antipornografi dan Pornoaksi. Ketika ditanya soal itu, ia malah balik bertanya, ”Ada ya?”
Meski demikian, tampaknya Atun paham betul bahwa perundang-undangan itu tidak akan menutup kegiatan usahanya, melainkan hanya memerlukan izin. ”Kami punya izin dari Dinas Kebudayaan, RW, RT, dan polisi. Kami juga punya izin dari warga sekitar. Kalau warga keberatan, mana mungkin kami masih bertahan di sini,” tuturnya.
Di Kabupaten Blora, Rembang, Pati, Kudus, Jepara dan Grobogan (Jawa Tengah), sebagian besar pekerja seni tayub juga tidak tahu adanya RUU Antipornografi dan Pornoaksi.
Ini bisa dimaklumi karena banyak di antara mereka hanya berpendidikan sekolah dasar (SD). Jika toh tahu, hanya selintas dari tayangan televisi atau surat kabar.
”Terus terang saya tidak tahu sama sekali” ujar Tinah. Hal senada dikemukakan Iin Parlina (25), penari jaipong di sanggar Mekar Munggaran, Jakarta Timur.
Iin yang hanya tamat SD itu mendapat bayaran sekitar Rp 400.000 per bulan. Setelah dipotong untuk kebutuhan sehari- hari, termasuk kosmetik segala, sisanya ia kirim untuk anaknya yang masih berusia enam tahun di Cikarang, Bekasi.
Tinah adalah pekerja seni tayub atau teledek papan atas di wilayah pantai utara (pantura) timur, dengan bayaran minimal Rp 1 juta dan maksimal Rp 2,5 juta sekali manggung. Ia sudah manggung sejak usia 16 tahun dan sudah menikah dengan Kabul, seorang pegawai negeri sipil lulusan salah satu perguruan tinggi di Jateng pada Agustus 1999.
Perempuan berkulit kuning ini terperanjat ketika diberi tahu bahwa pakaian kemben bisa terancam oleh RUU itu. Padahal, kemben adalah salah salah satu ciri khas berbusana adat Jawa, khususnya ketika naik panggung dalam seni tayub.
Kemben adalah penutup payudara yang terbuat dari kain dan selalu berkaitan dengan jarik/sinjang. Sementara kesenian tayub diartikan ditata supaya guyub (tertata agar menyatu).
Menurut Tinah yang didampingi suaminya, jauh sebelum pornografi dan pornoaksi ”meledak” dalam beberapa tahun terakhir, Bupati Pati Sunardji pada sekitar awal tahun 1992 malah pernah memerintahkan agar pekerja seni tayub yang umumnya terdiri kaum perempuan ini memakai penutup kemben.
”Bukan semata-mata untuk menutupi buah dada, tapi lebih dititikberatkan untuk menjaga kesehatan karena biasanya tayub berlangsung malam hari.
Meski bukan merupakan surat keputusan, perintah itu akhirnya dituruti dan setiap kali pentas pekerja seni tayub memakai penutup kemben warna-warni (kecenderungan mencolok).
Akan tetapi, itu hanya diikuti di Kabupaten Pati dan sekitarnya. Untuk Kabupaten Blora hingga memasuki wilayah Jawa Timur, pekerja seni tayub tetap mengenakan kemben saat pentas.
”Saya dan umumnya teman- teman satu profesi juga sangat setuju dan lebih senang dengan memakai kemben karena memang di situlah salah satu ciri tayub. Jika pemerintah melarang seniman tayub untuk tidak memakai kemben karena dianggap porno, saya kira berlebihan,” kata Tinah menambahkan.
Pendapat Tinah tersebut dibenarkan Kabul (yang selama ini menjadi manajer sang istri sekaligus turut aktif berkiprah di kesenian tayub itu sendiri) karena tayub sudah berbeda dengan kesenian serupa pada masa penjajahan Belanda, Jepang, hingga menjelang tumbangnya pemerintahan Orde Baru.
Sebab, tidak ada lagi seorang pambekso (hadirin/tamu yang ikut berjoget/bernyanyi dengan seniwati tayub) memberikan tip berupa uang yang dimasukkan ke kemben. Tidak ada lagi pambekso dengan seenaknya mencubit pantat atau mencium pipi sang seniwati.
Keberadaan pambekso tidak boleh lebih dari satu meter dari seniwati. Pambekso maupun penonton bisa saja memberikan tip yang dimasukkan ke amplop dan disodorkan ke tangan seniwati. ”Jika ada yang berani kurang ajar terhadap seniwati, justru penonton lain yang bertindak tegas. Jika perlu dipukul, paling tidak diingatkan, lalu ditarik ke luar arena,” ujar Kabul.
Stigma porno
Bagaimana dengan nasib tari dongbret di Indramayu, Jawa Barat? ”Sekarang dongbret sudah tidak ditarikan di sini. Tradisi tari itu terakhir kali saya lihat sekitar tahun 1970-an. Sekarang sudah disingkirkan ke daerah Balanakan, Kabupaten Subang,” kata Wangi Indria, seniman sekaligus pemerhati seni Indramayu.
Perasaan sedih terlihat dari gaya bicara Wangi ketika membicarakan tari dongbret, tari yang dikenal masyarakat masa kini dengan istilah goyang dongbret. Sebab, atas penolakan beberapa pihak di Indramayu, sekitar tahun 1970, tari dongbret sudah dilarang di Indramayu karena dianggap porno.
Dongbret dalam bahasa keseharian berarti ”uang blendong bisa jembret” (uang segenggam bisa melacur). Stigma yang diberikan pada tari ini tertanam pula pada mantan penarinya yang saat ini berusia sekitar 50 tahunan.
Padahal, pada masa jayanya dulu, kesenian dongbret merupakan kesenian rakyat yang paling murah dan selalu diselenggarakan tujuh hari tujuh malam menjelang dan ketika upacara syukuran desa.
Menurut pemerhati kesenian sekaligus seniman Indramayu, Mamat Taham, stigma porno yang diberikan kepada dongbret sebenarnya tidak beralasan.
”Mungkin yang dipersoalkan beberapa anggota masyarakat adalah saat seorang perempuan dan laki-laki saling berpegangan tangan hingga akhirnya si lelaki mencium pipi si penari perempuan dengan imbalan uang, lalu dianggap bertentangan dengan nilai moral sebagian besar masyarakat. Padahal, tahap yang dikhawatirkan itu hanya berhenti pada cium pipi dan tak menjurus pada bagian yang lain,” kata Mamat.
Menurut Wangi, tersingkirnya tarian dongbret dari Indramayu merupakan salah satu pelajaran, betapa banyak tanggapan dan persepsi orang mengenai suatu bentuk kesenian. Banyak orang yang beranggapan kalau semua yang dilakukan di tari dongbret adalah perbuatan erotis dan porno. Padahal, secara filosofis, si penari maupun tariannya jauh dari nuansa porno. (D01/Suprapto)

by:Nasru Alam Aziz

Jumat, 16 Januari 2009

UN SMA & MA Tak Libatkan TPI

Perkembangan Pendidikan di Indonesia belum benar – benar terlihat suatu kemajuan yang begiu signifikan, meskipun berbagai upaya telah dilakukan oleh Pemerintah.
Salah satu usaha yang telah dilakukan oleh Pemerintah biasanya bersifat konstiusional, demi mendapatkan lulusan dari sekolah yang kompetitif & siap bersaing secara global, Pemerintah menetapkan angka batas minimal kelulusan UAN.
Dalam hal ini, kita tidak akan menemukan pemerintah berusaha untuk memperbaiki mutu pendidikan, melainkan pemerintah sepertinya hendak menjegal generasi kita demi untuk mengejar ketertinggalan dengan Negara lain. Pemerintah telah mengorbankan siswa sebagai Kelinci percobaan dalam penerapan aturan – aturan tentang nilai UAN.
Penerapan aturan standar kelulusan UAN selalu berubah – ubah, dimulai pada tahun 2003 dengan standar nilai 3.0 sampai dengan tahun 2008 kemarin batas nilai kelulusan mencapai 5.25.
Menurut Ketua Badan Standar nasional Pendidikan ( BSNP ) Prof. Dr. Mungin Edy Wibowo, MPd dalam sosialisasi UN di Hotel Novotel Semarang, baru-baru ini menyampaikan. Selain standar kelulusan, ada juga yang berubah dari pelaksanaan Ujian Nasional ( UN ) tahun 2009. untuk SMA & MA, pelaksanaan UN tidak melibatkan TPI ( Tim Pemantau Independen ). Sedangkan keterlibatan TPI hanya pada jenjang SMP / SMPLB, SMK dan MTS. Sebagai gantinya, untuk jenjang SMA / MA dilibatkan secara langsung pihak – pihak dari perguruan tinggi. Keterlibaan perguruan tinggi tersebut berdasarkan pada Surat Keputusan Majelis Rektor PTN sebagai Koordinator pada provinsi tertentu. Selanjutnya Perguruan Tinggi yang ditunjuk sebagai Koordinator itu membentuk tim kerja UN di tingkat Provinsi. "Penunjukan Koordinator juga berlangsung hingga tingkat Kab/Kota". Pihak Perguruan Tinggi akan mengawali secara langsung pelaksanaan UN hingga di tingkat satuan pendidikan. Diawali dari pengawasan pada proses pencetakan soal sampai pada pendistribusian. Begitu ujian selesai, Lembar Jawab Ujian Nasional ( LJUN ) di kirim ke Perguruan Tinggi yang ditunjuk untuk melakukan scanning. Pengiriman LJUN itu pun diawasi secara langsung oleh pihak Perguruan Tinggi.

Tanggung Jawab
Dengan adanya perubahan pelaksanaan itu, muncul pertanyaan mengapa hanya tingkat SMA dan MA saja yang melibatkan perguruan tinggi??? Menurut Ketua BSNP, diharapkan perguruan tinggi ikut beratanggung jawab atas kualitas pendidikan di tingkat bawahnya.
Nantinya hasil UN dapat digunakan untuk melanjutkan ke perguruan tinggi. Sebagai seleksi masuk, tidak perlu dilakukan tes yang sama dengan UN akan tetapi lebih pada potensi akademik.
Ketua BSNP mengakui belum ada keharusan untuk system seperti itu. “ Namun paling tidak, pada 2012 hal itu sudah diberlakukan”.
UNNES menjadi perguruan tinggi yang ditunjuk untuk melakukan scanning hasil UN.
Menurut Pembantu Rektor I Prof.Dr. Supriyadi Rusadi, Unnes pernah mengusulkan kepada BSNP untuk menggunakn image processing guna mengoreksi jawaban. Pasalnya, dengan metode seperti itu siswa tak perlu menghitamkan jawaban yang dipilih tapi cukup menyilang.
“Metode ini akan lebih menghemat waktu baik siswa maupun pengoreksi”.
Hanya saja BSNP masih memilih menggunkanan metode lama. Tetapi pihak Unnes sudah mengantisipasi jika nanti ada gangguan pada alat seperti yang biasa terjadi akan diatasi dengan cara manual. Jadi tidak perlu khawatir akan salah koreksi.
Mudah – mudahan peraturan baru ini akan meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia.

Rabu, 14 Januari 2009

Rendahnya Moral Pelaku Dunia Pendidikan



  • Seorang guru Sekolah Dasar di luar pulau Jawa, melakukan pelecehan seksual terhadap beberapa orang muridnya. Kasus ini terbongkar setelah salah seorang korban melapor kejadian tersebut kepada orang tuanya.

  • Beredarnya video perkelahian siswi sebuah sekolah di kota Pati - Jateng. Adegan kekerasan tersebut ternyata dilakukan oleh Geng Nero.

  • Tersinggung diejek tidak gentle, Mahasiswa Undip tega membunuh pacarnya. Berita menyedihkan itu menjadi pembicaraan hangat di kampus-kampus. Mengapa Mahasiswa sebagai kaum Intelektual bisa berbuat menyimpang tanpa pikir panjang ??? ( Suara Merdeka, Des'08 )

Sekelumit cerita di atas menunjukkan betapa rendahnya moral dari para pelaku di dunia pendidikan, memang tidak semua dari pelaku di dunia pendidikan melakukan hal itu.Namun, kejadian - kejadian itu sudah mencoreng Dunia Pendidikan. Dunia Pendidikan di pertanyakan !!! Haruskah Seperti ini ????Pendidikan yang seharusnya bisa mencetak anak - anak bangsa menjadi cerdas, berpendidikan, bermoral dan bermartabat untuk mengharumkan nama bangsa,.malah sekarang dinodai dengan kasus - kasus seperti itu. Bagaimana nasib pendidikan di masa Depan, jika moral dari pelaku Dunia Pendidikan masih seperti itu ????Disinilah peran serta dari semua pihak diperlukan, baik Pemerintah, orang tua, Pendidik dan juga siswa / murid tersebutuntuk dapat menciptakan Pendidikan yang diharapkan mampu mengubah nasib rakyat Indonesia menjadi lebih baik untuk kedepannya..